Sabtu, 28 Februari 2015
DO'A SELAMAT
"ALLAHUMMA INNA_ NAS ALUKA SALA_MATAN FI_DDIYNi, WA 'AFIYATAN FI_L JASADi, WAZIYA_DATAN FI_L 'ILMI, WA BAROKATAN FI_RRIZQI WA TAWBATAN QOBLALMAWTi, WARO'HMATAN INgDALMAWTi, WA MAGHFIROTAN BA'DALMAWTi, ALLAHUMMA HAWWIN 'ALAYNA FI_SAKARO_TILMAWTi, WA_NNAJA_TA MINANNA_Ri, WAL'AFWA INgDAL'HISAB."
Artinya : "Ya Allah ya Tuhan kami, kami mohon keselamatan agama, kesehatan jasmani, bertambahnya ilmu dan berkah rizqi, dapat bertaubat sebelum mati, mendapat rahmat ketika mati, dan memperoleh ampunan setelah mati. Ya Allah, mudahkanlah kami paa gelombang sakaratul maut. Bebaskanlah kami dari azb neraka-Mu dan memperoleh ampunan ketika kami dihisab"
-----
"ROBBANA_LA_TUZIGH QULU_BANA_ BA'DA IDZHADAYTANA_ WA HABLANA_ MILLADUNgKA RO'HMATAN 'INNAKA ANgTALWAHHAB"
Artinya : "Ya Allah Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan kami sesudah mendapat petunjuk, berilah kami rahmat dari sisi-Mu. Karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemurah."
-----
"ROBBANA_ A_TINA_ FI_DDUNYA 'HASANAH(tan), WAFI_L AKHIROTI 'HASANAH(tan), WAQINA_ ADZA_BANNA_R(i)"
Artinya : "Ya Allah Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kesejahteraan di akhirat, dan hindarkanlah kami dari siksa api neraka."
ISI KANDUNGAN SURAT AL BAKOROH 30 DAN 164
Artinya: Dan(ingatlah) ketika tuhanmu berfirman kepada para
malaikat."Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata,
"Apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan
darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan
nama-Mu?"Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui ap yang tidak kamu
ketahui."(Q.S. al-Baqarah (2):30)
Kandungan surat al-baqarah ayat 30.
Sejak dulu manusia sudah diciptakan oleh Allah pada awalnya menjadi umat yang akan menjadi pemimpin di surga. Manusia akan menjadi pemimpin malaikat dan syetan, akibatnya syetanpun cenburu, dan berbuat murka dan tidak patuh terhadap Allah. Seiring berjalannya waktu, Syetanpun berhasil mempengaruhi manusia untuk melanggar aturan dari Allah swt, sehingga manusia dapat hukuman untuk diturunkan didunia.
Para malaikat khawatir, bahwa umat manusia (keturunan Adam) akan membuat kerusakan di bumi. Padahal para malaikat merupakan makhluk yang selalu bertasbih, mensucikan Allah. Ketidaktahuan para malaikat dan kekhawatiran para malaikat itu menjadi hilang setelah mendapatkan penjelasan dari Allah bahwa Allah lebih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh para malaikat. Al-Qur’an merupakan firman Allah yang mengandung berbagai aspek kehidupan, baik aspek hukum, sejarah, aqidah( keimanan), eskatologi,maupun isyarat tentang pengetahuan. Semua itu diperuntukan bagi manusia agar dijadikan pedoman hidup sehingga kehidupannya lebih baik dan mendapat rahmat dari Allah SWT.
Kandungan surat al-baqarah ayat 30.
Sejak dulu manusia sudah diciptakan oleh Allah pada awalnya menjadi umat yang akan menjadi pemimpin di surga. Manusia akan menjadi pemimpin malaikat dan syetan, akibatnya syetanpun cenburu, dan berbuat murka dan tidak patuh terhadap Allah. Seiring berjalannya waktu, Syetanpun berhasil mempengaruhi manusia untuk melanggar aturan dari Allah swt, sehingga manusia dapat hukuman untuk diturunkan didunia.
Para malaikat khawatir, bahwa umat manusia (keturunan Adam) akan membuat kerusakan di bumi. Padahal para malaikat merupakan makhluk yang selalu bertasbih, mensucikan Allah. Ketidaktahuan para malaikat dan kekhawatiran para malaikat itu menjadi hilang setelah mendapatkan penjelasan dari Allah bahwa Allah lebih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh para malaikat. Al-Qur’an merupakan firman Allah yang mengandung berbagai aspek kehidupan, baik aspek hukum, sejarah, aqidah( keimanan), eskatologi,maupun isyarat tentang pengetahuan. Semua itu diperuntukan bagi manusia agar dijadikan pedoman hidup sehingga kehidupannya lebih baik dan mendapat rahmat dari Allah SWT.
Di dalam Al Qr’an ada
isyarat ilmu pengetahuan yang perlu digali oleh manusia. Isyarat ilmu
pengetahuan itu masih bersifat global sehingga memerlukan kesungguhan
manusia untuk meneliti atau melakukan eksperimen untuk dapat menyingkap
isi kandungannya. Sebagai contoh ayat Al Qur’an yang berisi isyarat ilmu
pengetahuan adalah ayat-ayat berikut:
A. Surat Yunus ayat 101
1. Bacaan surat Yunus ayat 101
Artinya : “Katakanlah:
“Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat
tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi
orang-orang yang tidak beriman. ” (QS Yunus : 101)
2. Isi kandungan
Dalam
ayat ini Allah menjelaskan perintah Nya kepada rasul Nya agar dia
menyuruh kaumnya untuk memperhatikan dengan mata kepala mereka dan
dengan akal budi mereka segala yang ada di langit dan di bumi. Mereka
diperintahkan agar merenungkan keajaiban langit yang penuh dengan
bintang-bintang, matahari dan bulan, keindahan pergantian malam dan
siang, air hujan yang turun ke bumi, menghidupkan bumi yang mati,
menumbuhkan tanam-tanaman, dan pohon-pohonan dengan buah-buahan yang
beraneka warna dan rasa. Hewan-hewan dengan bentuk dan warna yang
bermacam-macam hidup diatas bumi, memberi manfaat yang tidak sedikit
kepada manusia. Demikian pula keadaan bumi itu sendiri yang terdiri dari
gurun pasir, lembah yang terjal, dataran yang luas, samudera yang penuh
dengan berbagai ikan yang semuanya itu terdapat tanda-tanda keesaan dan
kekuasaan Allah SWT bagi orang-orang yang berfikir dan yakin kepada
penciptanya.
Akan
tetapi mereka yang tidak percaya adanya pencipta alam ini, membuat semua
tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah di alam ini tidak akan
bermanfaat baginya.
B. Surat Al Baqarah Ayat 164
1. Bacaan Surat Al Baqarah ayat 16
Artinya : “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan
kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS Al Baqarah : 164)
2. Kandungan
Dialah
yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya untuk keperluan
manusia. Sudah seharusnyalah manusia memperhatikan dan merenungkan
rahmat Allah yang maha suci itu. Karena dengan begitu, akan bertambah
yakinlah ia pada kekuasaan dan keesaan Nya, akan bertmabha luas pulalah
ilmu pengetahuannya mengenai alam ciptaan Nya dan dapat pula
dimanfaatkannya ilmu pengetahuan itu sebagaimana yang dikehendaki oleh
Allah yang maha mengetahui. Hendaklah selalu diperhatikan dan diselidiki
apa yang tersebut dalam ayat ini, yaitu :
- Bumi yang dihuni manusia dan apa yang tersimpan didalamnya tidak akan pernah habis baik didarat maupun dilaut
- Langit dengan planet dan bintang-bintangnya semua berjalan dan bergerak menurut tata tertib dan aturan Ilahi. Tidak ada yang menyimpang dari aturan-aturan itu
- Pertukaran malam dan siang dan perbedaan panjanng dan pendeknya pada beberapa negeri karena perbedaan letaknya, kesemuanya itu membawa faedah dan manfaat yang amat besar bagi manusia
- Bahtera berlayar dilautan untuk membawa manusia dari satu negeri ke negeri yang lain dan untuk membawa barang-barang perniagaan untuk memajukan perekonomian
- Allah SWT menurunkan hujan dari langit sehingga dengan air hujan itu bumi yang telah mati atau lekang dapat menjadi hidup dan subur, dan segala macam hewan dapat pula melangsungkan hidupnya
- Pengendalian dan pengisaran angin dari suatu tempat ke tempat yang lain adalah tanda dan bukti bagi kekuasaan Allah dan kebesaran rahmatnya bagi manusia
- Demikian pula, harus dipikirkan dan diperhatikan kebesaran nikmat Allah kepada manusia dengan bertumpuk-tumpuknya awan antara langit dan bumi. Ringkasnya, semua rahmat yang diciptakan Allah termasuk apa yang tersebut dalam ayat 164 ini patut dipikirkan dan direnungkan bahkan dibahas dan diteliti untuk meresapkan keimanan yang mendalam dalam kalbu, dan untuk memajukan ilmu pengetahuan yang juga membawa kepada pengakuan akan keesaan dan kebesaran Allah
Selasa, 24 Februari 2015
NIKMATNYA TOLABUL NGILMI
Diantara sekian banyak nikmat Allah yang telah kita
rasakan, ada satu nikmat yang melandasi datangnya nikmat-nikmat yang
lain, yaitu ilmu. Sebab dengan ilmu, seseorang akan dapat memahami
berbagai hal dan karena ilmu juga, seseorang akan mendapatkan kedudukan
yang lebih tinggi di sisi Allah, juga di kalangan manusia. Terutama
jika disertai dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Baik dia seorang budak atau orang merdeka; seorang bawahan atau
atasan; seorang rakyat jelata ataupun para raja. Sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya,
يَـأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَاقِيْـلَ لَكُمْ
تَفَـسَّحُوْافِيْ الْمَجَلِسِ فَافْـسَحُوا يَفْـسَحِ اللهُ لَكُمْۖ
وَإِذَا قِيْـلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ
ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍۗ وَاللهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبْيْرٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian kerjakan.” (Qs. Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَـذَا الْكِـتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ .
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur’an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 817) dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu]
Dalil di atas dengan menegaskan bahwa orang yang berilmu dan mengamalkannya maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan akan dinaikkan derajatnya di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla menolak persamaan antara orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Sebagaimana Dia menolak persamaan antara para penghuni Surga dengan para penghuni Neraka. Allah berfirman,
قُـلْ هَـلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُونَۗ …
Artinya: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs. Az-Zumar: 9)
Ayat di atas berbentuk kalimat tanya, akan tetapi pada hakikatnya mengandung arti pengingkaran. Karena orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu tidak akan pernah setara kedudukannya. Yang dapat memahami maksud tersebut hanyalah orang yang cerdas, sehingga dia dapat mengetahui nilai ilmu, kedudukan dan keutamannya. [Lihat Bahjatun Nazhirin (II/462) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/284)]
Sementara itu, dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala menyatakan,
لاَيَسْتَوِى أَصْحَبُ النَّارِ وَأَصْحَبُ الْجَنَّةِۗ …
Artinya: “Tidak sama (antara) para penghuni Neraka dengan para penghuni Surga…” (Qs. Al-Hasyr: 20)
Ini menunjukkan tentang puncak dari keutamaan dan kemuliaan orang yang berilmu. Bahkan, karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan memakan buruan anjing yang tidak terlatih. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
يَسْـئَلُوْنَكَ مَاذَآ أُحِـلَّ لَهُمْۗ قُلْ أَحِـلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَتُ وَمَاعَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَـلِّمُوْنَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللهُ فَـكُلُوْا مِمَّآ أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوااسْمَ اللهِ عَلَيْهِۖ وَاتَّقُوااللهَۗ إِنَّ اللهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.’”(Qs. Al-Ma’idah: 4)
Ayat di atas menunjukkan bahwa binatang menjadi mulia karena ilmu dan diberi kedudukan yang berbeda dengan binatang yang tidak berilmu. Seandainya bukan karena keutamaan ilmu, niscaya hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak terlatih statusnya sama, yakni haram hukumnya untuk dikonsumsi. Akan tetapi, hewan yang ditangkap anjing pemburu statusnya halal, tidak sebagaimana hasil buruan anjing liar.
Jika kedudukan binatang saja bisa mengalami kenaikan karena ilmu, bagaimana halnya dengan kedudukan seorang manusia yang jelas-jelas kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia dari pada binatang?
Pada kesempatan kali ini, dengan memohon taufik kepada Allah Jalla Dzikruhu,penulis akan menghadirkan pembahasan mengenai nikmat dan keutamaan para pemilik ilmu beserta dengan hukum dan macam-macam ilmu dalam tinjauan syari’at.
DEFINISI ILMU DAN TINGKATANNYA
Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan pengetahuan yang sebenarnya. [Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18), Syarh Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 75), Ushul Fiqh Terjemah (hal. 24), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16)]
Ilmu pada hakikatnya terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Ilmu dharuri, adalah pengetahuan tentang suatu hal tanpa memerlukan penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil (keterangan). Contohnya: pengetahuan bahwa api itu panas.
2. Ilmu nazhari, adalah pengetahuan tentang suatu hal yang didahului oleh penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil. Contohnya: pengetahuan tentang tata cara wudhu dan shalat.
Adapun tingkatan ilmu yang dimiliki oleh seseorang terbagi dalam enam tingkatan, yaitu:
1. Al-‘Ilmu, maksudnya adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
2. Al-Jahlul Basith, maksudnya adalah tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, sama sekali.
3. Al-Jahlul Murakkab, maksudnya tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, namun dia mengaku memiliki pengetahuan tentang itu, padahal keliru dan tidak sesuai dengan realita. Disebut murakkab yang artinya bertingkat, karena terdapat dua kebodohan sekaligus pada orang tersebut, yaitu bodoh karena dia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena dia beranggapan bahwa dia mengetahui yang sebenarnya, padahal dia tidak mengetahui.
4. Azh-Zhann, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar dari pada salahnya. Kata yang mirip dalam bahasa kita adalah dugaan kuat.
5. Al-Wahm, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan salahnya lebih besar dari pada benarnya. Atau mirip dengan dugaan lemah atau salah paham.
6. Asy-Syakk, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar dan salahnya seimbang.
[Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18-19), Syarh Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 71-72), Ushul Fiqh Terjemah (hal. 25), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16-17)]
KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
Ilmu adalah sayyidul ‘amal (penghulunya amal), sehingga tidak ada satu amalan pun yang dilakukan tanpa didasari dengan ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah yang telah disepakati ummat,
اَلْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ .
“Ilmu dahulu sebelum berkata dan berbuat.”
[Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ilmu, Bab Al-‘Ilmu Qablal Qaul wal ‘Amal (I/119)]
Ilmu juga merupakan makanan pokok bagi jiwa, yang karenanya jiwa akan menjadi hidup dan jasad akan memiliki adab. Oleh karena itu, Islam mewajibkan ummatnya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu. Dan hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ .
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.”
[Hadits shahih li ghairihi, diriwayatkan Ibnu Majah (no. 224), dari jalur Anas bin Malik radhiyallahu’anhu. Hadits ini diriwayatkan pula oleh sekelompok para shahabat, seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudriy, Al-Husain bin ‘Ali, dan Jabir radhiyallahu’anhum. Para ulama ahli hadits telah menerangkan jalur-jalur hadits ini dalam kitab-kitab mereka, seperti: Imam As-Suyuthi dalam kitab Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi Faridhotun ’Ala Kulli Muslimin, Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Wahiyat (I/67-71), Imam Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/69-97), dan Syaikh Al-Albani dalam kitab Takhrij Musykilah Al-Faqr (hal. 48-62)]
Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan seseorang terhadap ilmu lebih besar dari kebutuhannya terhadap makan dan minum, seperti pernah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
الناس إلي العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب لأنهم يحتاجون إليها في اليوم مرة أو مرتين وحاجتهم إلي العلم بعدد اأنفاسهم
“Manusia sangat membutuhkan ilmu dari pada (mereka) membutuhkan makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang nafasnya.” [Lihat Thabaqat Al-Hanabilah (I/146), Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 91), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 55-56)]
Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendakwahkan Islam kepada para Shahabat atas dasar ilmu. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيْلِى أَدْعُواإِلَى اللهِۚ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِىۖ …
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu.’” (Qs. Yusuf: 108)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru manusia kepada agama Allah atas dasar ilmu (بصيرة ), keyakinan (يقين ), dalil syar’i (برهان شرعي ), dan dalil aqli (عقلي ). [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (IV/422)]
ILMU YANG WAJIB DICARI
Tidak setiap ilmu boleh untuk dicari dan dipelajari, sebab ada ilmu yang dilarang untuk dipelajari. Hanya ilmu yang bermanfaat sajalah yang boleh untuk dicari dan dipelajari. Karena ilmu yang bermanfaat menempati kedudukan yang terpuji, seperti kisah Nabi Adam ‘alaihis salam yang diajarkan oleh Allah Ta’ala tentang nama-nama segala sesuatu, kemudian Nabi Adam memberitahukannya kepada para Malaikat dan para Malaikat pun berkata,
قَالُوا سُبْحَـنَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ مَاعَلَّمْتَنَآۖ إِنَكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
Artinya: “Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” (Qs. Al-Baqarah: 32)
Demikian juga disebutkan dalam kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dengan Nabi Khidhir ‘alaihis salam, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala berikut,
فَوَجَدَا عَبْـدًا مِّنْ عِبَـادِنَـآاَتَيْنَـهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْـدِنَـا وَعَلَّمْنَـهُ مِنْ لَّـدُنَّا عِلْمًا قَالَ لَهُ مُوسَى هَـلْ أَتَّبِعُـكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْـدًا
Artinya: “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya. ‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?’” (Qs. Al-Kahfi: 65-66)
Semua ayat di atas berbicara tentang ilmu yang bermanfaat.
Hanya saja, tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat dari ilmu yang bermanfaat ini. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan tentang keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, tetapi ilmu yang ada pada mereka tidak memberi manfaat sama sekali bagi mereka. Padahal, ilmu yang mereka miliki adalah ilmu yang bermanfaat, namun demikian mereka tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Jalla Dzikruhu,
مَثَـلُ الَّذِيْنَ حُـمِّلُوا التَّوْرَىةَ ثُـمَّ لَـمْ يَحْـمِلُوهَاكَمَـثَـلِ الْحِـمَارِ يَحْمِـلُ أَسْفَـارَاۚ بِئْـسَ مَثَـلُ الْقَـوْمِ الَّذِيْنَ كَـذَّ بُوْا بِـئَا يَتِ اللهِۚ وَاللهُ لاَ يَهْـدِى الْقَـوْمَ الظَّـلِمِيْنَ
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Qs. Al-Jumu’ah: 5)
Sedangkan ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang menjadi penyakit dalam agama dan memiliki kecenderungan untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan, seperti ilmu kalam (logika), ilmu filsafat, dan semisalnya. Selain itu, ada juga ilmu yang tercela, seperti ilmu sihir dan perdukunan. Ilmu tersebut merupakan ilmu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia apalagi di akhirat. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
وَيَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ
وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (١٠٢)
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Yahya bin ‘Ammar rahimahullah pernah berkata, “Ilmu itu ada lima (jenis), yaitu: (1) ilmu yang menjadi ruh (kehidupan) bagi agama, yaitu ilmu tauhid; (2) ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna-makna Al-Qur’an dan hadits; (3) ilmu yang menjadi obat (penyembuh) bagi agama, yaitu ilmu fatwa. Ketika seseorang tertimpa sebuah musibah maka ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah tersebut, sebagaimana pernah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. (4) ilmu yang menjadi penyakit dalam agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan (5) ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang semisalnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (X/145-146), Siyar A’lamin Nubala’ (XVII/482), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 28-29)]
Demikianlah perbedaan antara ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.
Adapun pengertian dari ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa keterangan dan petunjuk, dimana mempelajari ilmu ini berhak mendapatkan pujian dan sanjungan. [Lihat Kitabul ‘Ilmi (hal. 13), Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 15), Bahjatun Nazhirin (II/461), dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/281)]
Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu (yang bermanfaat) adalah apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan apa saja yang datang bukan dari salah seorang dikalangan mereka maka itu bukanlah ilmu (yang bermanfaat).” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/500, no. 1067 dan I/617, no. 1421), Fadhlu ‘Ilmi Salaf (hal. 42), Bahjatun Nazhirin (II/461), Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/283), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16 dan 22)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pun pernah berkata, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung (matematika), ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (VI/388 dan XIII/136), Madarijus Salikin (II/488), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 20-21)]
Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah pernah berkata, “Ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para Shahabat.” [Lihat I’lamul Muwaqqi’in (II/149) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 22)]
Adapun ilmu yang bersifat keduniawian, seperti ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu ekonomi, dan yang lainnya, ada yang sangat dibutuhkan ummat Muslim. Namun, ilmu-ilmu tersebut tidak termasuk dalam kategori ilmu syar’i, sebagaimana disebutkan dalam dalil yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, hukum menuntut ilmu duniawi tergantung kepada tujuan dan kebutuhannya, apabila tujuannya adalah untuk ketaatan kepada Allah maka hal itu akan menjadi baik dan apabila dengan mempelajarinya dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin maka hal itu dapat menjadi wajib. [Lihat Kitabul ‘Ilmi (hal. 13-14)]
Dengan demikian, kita dapat membagi hukum menuntut ilmu menjadi tiga, yaitu:
1. Fardhu ‘ain, dimana hukumnya adalah wajib untuk diketahui oleh setiap individu. Ilmu yang tercakup dalam hukum ini adalah semua ilmu syar’i yang yang menjadi pengetahuan dasar tentang agama, baik permasalahan ushul (asas) seperti akidah, tauhid dan manhaj, sampai permasalahan furu’ (cabang) seperti shalat, zakat, sedekah, haji, dan semisalnya.
2. Fardhu kifayah, dimana hukumnya tidak wajib atas setiap individu, sebab tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya. Kalaupun diwajibkan atas setiap individu, tidak semua orang dapat melakukannya, bahkan mungkin saja dapat menghambat jalan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya sebagian orang saja yang diberi kemudahan oleh Allah untuk mempelajarinya dengan rahmat dan hikmah-Nya.
Apabila sebagian orang telah mengetahui dan mempelajarinya maka gugurlah kewajiban lainnya. Namun, jika tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengetahui dan mempelajarinya, padahal mereka amat membutuhkan ilmu tersebut maka mereka semua berdosa karenanya.
Contohnya adalah ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu waris, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu fiqih, ilmu pemerintahan, dan lain sebagainya. [Lihat Tafsir Al-Qurthubi (VIII/187), Thariq ilal ‘Ilmi As-Subulun Naji’ah li Thalabil ‘Ulumin Nafi’ah (hal. 18-19), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 6-7 dan 17)]
3. Haram, dimana hukumnya terlarang untuk dicari dan dipelajari, karena akan membawa pelakunya kepada kesesatan, kemaksiatan, bahkan kesyirikan kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Diantara ilmu yang termasuk dalam hukum ini adalah ilmu sihir. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَ يَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda,
إِجْتَنِـبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَـاتِ، قَالُوا: يَـا رَسُولَ اللهِ وَمَـاهُنَّ؟ قَـالَ: الشَّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَـتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهَ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَـا، وَأَكْلُ مَـالِ الْيَتِيْـمِ، وَالتَّوَ لَّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَـذْفُ الْمُحْصَنَـاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ .
Artinya: “Hindarilah (oleh kalian) tujuh perkara yang membinasakan.’ Mereka bertanya, ‘Apakah itu wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan cara yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan melempar tuduhan zina kepada wanita mukminah yang terjaga kesucian dan kehormatannya dari perbuatan dosa dan mereka tidak mengetahui tentang hal itu.’” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2615), Muslim (no. 258), Abu Dawud (no. 2874), dan An-Nasa’i (no. 3673), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menyebutkan tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjauhi sihir dan menjelaskan bahwa sihir termasuk dalam perbuatan dosa besar yang membinasakan. Ini menunjukkan bahwa sihir dapat membinasakan pelakunya di dunia maupun di akhirat. [Lihat Hukmus Sihri wal Kahanah (hal. 5)]
Tidak ada perbedaan bagi laki-laki maupun perempuan, mulai dari orang tua ataupun anak-anak; pejabat atau karyawan; si kaya atau si miskin, semuanya sama dalam kewajiban menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena dengan ilmu tersebut, dia akan dapat mengetahui dan mengamalkan berbagai amalan shalih dengan baik, yang amalan-amalan tersebut akan dapat mengantarkannya ke Surga.
Dengan demikian, kita telah mengetahui bahwa ilmu yang wajib untu dicari dan dipelajari oleh setiap Muslim adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang membahas tentang perkara-perkara agama, mulai dari perkara yang berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan Rabbnya sampai perkara yang berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan makhluk Rabbnya. Sementara untuk ilmu keduniaan, meskipun termasuk ke dalam ilmu yang bermanfaat, namun hukum mempelajarinya tidak sampai kepada wajib dan keutamaannya juga tidak setara dengan keutamaan menuntut ilmu syar’i.
muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian kerjakan.” (Qs. Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَـذَا الْكِـتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ .
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur’an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 817) dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu]
Dalil di atas dengan menegaskan bahwa orang yang berilmu dan mengamalkannya maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan akan dinaikkan derajatnya di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla menolak persamaan antara orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Sebagaimana Dia menolak persamaan antara para penghuni Surga dengan para penghuni Neraka. Allah berfirman,
قُـلْ هَـلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُونَۗ …
Artinya: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs. Az-Zumar: 9)
Ayat di atas berbentuk kalimat tanya, akan tetapi pada hakikatnya mengandung arti pengingkaran. Karena orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu tidak akan pernah setara kedudukannya. Yang dapat memahami maksud tersebut hanyalah orang yang cerdas, sehingga dia dapat mengetahui nilai ilmu, kedudukan dan keutamannya. [Lihat Bahjatun Nazhirin (II/462) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/284)]
Sementara itu, dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala menyatakan,
لاَيَسْتَوِى أَصْحَبُ النَّارِ وَأَصْحَبُ الْجَنَّةِۗ …
Artinya: “Tidak sama (antara) para penghuni Neraka dengan para penghuni Surga…” (Qs. Al-Hasyr: 20)
Ini menunjukkan tentang puncak dari keutamaan dan kemuliaan orang yang berilmu. Bahkan, karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan memakan buruan anjing yang tidak terlatih. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
يَسْـئَلُوْنَكَ مَاذَآ أُحِـلَّ لَهُمْۗ قُلْ أَحِـلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَتُ وَمَاعَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَـلِّمُوْنَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللهُ فَـكُلُوْا مِمَّآ أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوااسْمَ اللهِ عَلَيْهِۖ وَاتَّقُوااللهَۗ إِنَّ اللهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.’”(Qs. Al-Ma’idah: 4)
Ayat di atas menunjukkan bahwa binatang menjadi mulia karena ilmu dan diberi kedudukan yang berbeda dengan binatang yang tidak berilmu. Seandainya bukan karena keutamaan ilmu, niscaya hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak terlatih statusnya sama, yakni haram hukumnya untuk dikonsumsi. Akan tetapi, hewan yang ditangkap anjing pemburu statusnya halal, tidak sebagaimana hasil buruan anjing liar.
Jika kedudukan binatang saja bisa mengalami kenaikan karena ilmu, bagaimana halnya dengan kedudukan seorang manusia yang jelas-jelas kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia dari pada binatang?
Pada kesempatan kali ini, dengan memohon taufik kepada Allah Jalla Dzikruhu,penulis akan menghadirkan pembahasan mengenai nikmat dan keutamaan para pemilik ilmu beserta dengan hukum dan macam-macam ilmu dalam tinjauan syari’at.
DEFINISI ILMU DAN TINGKATANNYA
Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan pengetahuan yang sebenarnya. [Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18), Syarh Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 75), Ushul Fiqh Terjemah (hal. 24), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16)]
Ilmu pada hakikatnya terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Ilmu dharuri, adalah pengetahuan tentang suatu hal tanpa memerlukan penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil (keterangan). Contohnya: pengetahuan bahwa api itu panas.
2. Ilmu nazhari, adalah pengetahuan tentang suatu hal yang didahului oleh penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil. Contohnya: pengetahuan tentang tata cara wudhu dan shalat.
Adapun tingkatan ilmu yang dimiliki oleh seseorang terbagi dalam enam tingkatan, yaitu:
1. Al-‘Ilmu, maksudnya adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
2. Al-Jahlul Basith, maksudnya adalah tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, sama sekali.
3. Al-Jahlul Murakkab, maksudnya tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, namun dia mengaku memiliki pengetahuan tentang itu, padahal keliru dan tidak sesuai dengan realita. Disebut murakkab yang artinya bertingkat, karena terdapat dua kebodohan sekaligus pada orang tersebut, yaitu bodoh karena dia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena dia beranggapan bahwa dia mengetahui yang sebenarnya, padahal dia tidak mengetahui.
4. Azh-Zhann, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar dari pada salahnya. Kata yang mirip dalam bahasa kita adalah dugaan kuat.
5. Al-Wahm, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan salahnya lebih besar dari pada benarnya. Atau mirip dengan dugaan lemah atau salah paham.
6. Asy-Syakk, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar dan salahnya seimbang.
[Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18-19), Syarh Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 71-72), Ushul Fiqh Terjemah (hal. 25), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16-17)]
KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
Ilmu adalah sayyidul ‘amal (penghulunya amal), sehingga tidak ada satu amalan pun yang dilakukan tanpa didasari dengan ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah yang telah disepakati ummat,
اَلْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ .
“Ilmu dahulu sebelum berkata dan berbuat.”
[Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ilmu, Bab Al-‘Ilmu Qablal Qaul wal ‘Amal (I/119)]
Ilmu juga merupakan makanan pokok bagi jiwa, yang karenanya jiwa akan menjadi hidup dan jasad akan memiliki adab. Oleh karena itu, Islam mewajibkan ummatnya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu. Dan hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ .
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.”
[Hadits shahih li ghairihi, diriwayatkan Ibnu Majah (no. 224), dari jalur Anas bin Malik radhiyallahu’anhu. Hadits ini diriwayatkan pula oleh sekelompok para shahabat, seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudriy, Al-Husain bin ‘Ali, dan Jabir radhiyallahu’anhum. Para ulama ahli hadits telah menerangkan jalur-jalur hadits ini dalam kitab-kitab mereka, seperti: Imam As-Suyuthi dalam kitab Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi Faridhotun ’Ala Kulli Muslimin, Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Wahiyat (I/67-71), Imam Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/69-97), dan Syaikh Al-Albani dalam kitab Takhrij Musykilah Al-Faqr (hal. 48-62)]
Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan seseorang terhadap ilmu lebih besar dari kebutuhannya terhadap makan dan minum, seperti pernah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
الناس إلي العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب لأنهم يحتاجون إليها في اليوم مرة أو مرتين وحاجتهم إلي العلم بعدد اأنفاسهم
“Manusia sangat membutuhkan ilmu dari pada (mereka) membutuhkan makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang nafasnya.” [Lihat Thabaqat Al-Hanabilah (I/146), Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 91), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 55-56)]
Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendakwahkan Islam kepada para Shahabat atas dasar ilmu. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيْلِى أَدْعُواإِلَى اللهِۚ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِىۖ …
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu.’” (Qs. Yusuf: 108)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru manusia kepada agama Allah atas dasar ilmu (بصيرة ), keyakinan (يقين ), dalil syar’i (برهان شرعي ), dan dalil aqli (عقلي ). [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (IV/422)]
ILMU YANG WAJIB DICARI
Tidak setiap ilmu boleh untuk dicari dan dipelajari, sebab ada ilmu yang dilarang untuk dipelajari. Hanya ilmu yang bermanfaat sajalah yang boleh untuk dicari dan dipelajari. Karena ilmu yang bermanfaat menempati kedudukan yang terpuji, seperti kisah Nabi Adam ‘alaihis salam yang diajarkan oleh Allah Ta’ala tentang nama-nama segala sesuatu, kemudian Nabi Adam memberitahukannya kepada para Malaikat dan para Malaikat pun berkata,
قَالُوا سُبْحَـنَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ مَاعَلَّمْتَنَآۖ إِنَكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
Artinya: “Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” (Qs. Al-Baqarah: 32)
Demikian juga disebutkan dalam kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dengan Nabi Khidhir ‘alaihis salam, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala berikut,
فَوَجَدَا عَبْـدًا مِّنْ عِبَـادِنَـآاَتَيْنَـهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْـدِنَـا وَعَلَّمْنَـهُ مِنْ لَّـدُنَّا عِلْمًا قَالَ لَهُ مُوسَى هَـلْ أَتَّبِعُـكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْـدًا
Artinya: “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya. ‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?’” (Qs. Al-Kahfi: 65-66)
Semua ayat di atas berbicara tentang ilmu yang bermanfaat.
Hanya saja, tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat dari ilmu yang bermanfaat ini. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan tentang keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, tetapi ilmu yang ada pada mereka tidak memberi manfaat sama sekali bagi mereka. Padahal, ilmu yang mereka miliki adalah ilmu yang bermanfaat, namun demikian mereka tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Jalla Dzikruhu,
مَثَـلُ الَّذِيْنَ حُـمِّلُوا التَّوْرَىةَ ثُـمَّ لَـمْ يَحْـمِلُوهَاكَمَـثَـلِ الْحِـمَارِ يَحْمِـلُ أَسْفَـارَاۚ بِئْـسَ مَثَـلُ الْقَـوْمِ الَّذِيْنَ كَـذَّ بُوْا بِـئَا يَتِ اللهِۚ وَاللهُ لاَ يَهْـدِى الْقَـوْمَ الظَّـلِمِيْنَ
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Qs. Al-Jumu’ah: 5)
Sedangkan ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang menjadi penyakit dalam agama dan memiliki kecenderungan untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan, seperti ilmu kalam (logika), ilmu filsafat, dan semisalnya. Selain itu, ada juga ilmu yang tercela, seperti ilmu sihir dan perdukunan. Ilmu tersebut merupakan ilmu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia apalagi di akhirat. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
وَيَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ
وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (١٠٢)
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Yahya bin ‘Ammar rahimahullah pernah berkata, “Ilmu itu ada lima (jenis), yaitu: (1) ilmu yang menjadi ruh (kehidupan) bagi agama, yaitu ilmu tauhid; (2) ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna-makna Al-Qur’an dan hadits; (3) ilmu yang menjadi obat (penyembuh) bagi agama, yaitu ilmu fatwa. Ketika seseorang tertimpa sebuah musibah maka ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah tersebut, sebagaimana pernah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. (4) ilmu yang menjadi penyakit dalam agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan (5) ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang semisalnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (X/145-146), Siyar A’lamin Nubala’ (XVII/482), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 28-29)]
Demikianlah perbedaan antara ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.
Adapun pengertian dari ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa keterangan dan petunjuk, dimana mempelajari ilmu ini berhak mendapatkan pujian dan sanjungan. [Lihat Kitabul ‘Ilmi (hal. 13), Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 15), Bahjatun Nazhirin (II/461), dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/281)]
Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu (yang bermanfaat) adalah apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan apa saja yang datang bukan dari salah seorang dikalangan mereka maka itu bukanlah ilmu (yang bermanfaat).” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/500, no. 1067 dan I/617, no. 1421), Fadhlu ‘Ilmi Salaf (hal. 42), Bahjatun Nazhirin (II/461), Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/283), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16 dan 22)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pun pernah berkata, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung (matematika), ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (VI/388 dan XIII/136), Madarijus Salikin (II/488), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 20-21)]
Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah pernah berkata, “Ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para Shahabat.” [Lihat I’lamul Muwaqqi’in (II/149) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 22)]
Adapun ilmu yang bersifat keduniawian, seperti ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu ekonomi, dan yang lainnya, ada yang sangat dibutuhkan ummat Muslim. Namun, ilmu-ilmu tersebut tidak termasuk dalam kategori ilmu syar’i, sebagaimana disebutkan dalam dalil yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, hukum menuntut ilmu duniawi tergantung kepada tujuan dan kebutuhannya, apabila tujuannya adalah untuk ketaatan kepada Allah maka hal itu akan menjadi baik dan apabila dengan mempelajarinya dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin maka hal itu dapat menjadi wajib. [Lihat Kitabul ‘Ilmi (hal. 13-14)]
Dengan demikian, kita dapat membagi hukum menuntut ilmu menjadi tiga, yaitu:
1. Fardhu ‘ain, dimana hukumnya adalah wajib untuk diketahui oleh setiap individu. Ilmu yang tercakup dalam hukum ini adalah semua ilmu syar’i yang yang menjadi pengetahuan dasar tentang agama, baik permasalahan ushul (asas) seperti akidah, tauhid dan manhaj, sampai permasalahan furu’ (cabang) seperti shalat, zakat, sedekah, haji, dan semisalnya.
2. Fardhu kifayah, dimana hukumnya tidak wajib atas setiap individu, sebab tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya. Kalaupun diwajibkan atas setiap individu, tidak semua orang dapat melakukannya, bahkan mungkin saja dapat menghambat jalan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya sebagian orang saja yang diberi kemudahan oleh Allah untuk mempelajarinya dengan rahmat dan hikmah-Nya.
Apabila sebagian orang telah mengetahui dan mempelajarinya maka gugurlah kewajiban lainnya. Namun, jika tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengetahui dan mempelajarinya, padahal mereka amat membutuhkan ilmu tersebut maka mereka semua berdosa karenanya.
Contohnya adalah ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu waris, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu fiqih, ilmu pemerintahan, dan lain sebagainya. [Lihat Tafsir Al-Qurthubi (VIII/187), Thariq ilal ‘Ilmi As-Subulun Naji’ah li Thalabil ‘Ulumin Nafi’ah (hal. 18-19), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 6-7 dan 17)]
3. Haram, dimana hukumnya terlarang untuk dicari dan dipelajari, karena akan membawa pelakunya kepada kesesatan, kemaksiatan, bahkan kesyirikan kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Diantara ilmu yang termasuk dalam hukum ini adalah ilmu sihir. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَ يَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda,
إِجْتَنِـبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَـاتِ، قَالُوا: يَـا رَسُولَ اللهِ وَمَـاهُنَّ؟ قَـالَ: الشَّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَـتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهَ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَـا، وَأَكْلُ مَـالِ الْيَتِيْـمِ، وَالتَّوَ لَّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَـذْفُ الْمُحْصَنَـاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ .
Artinya: “Hindarilah (oleh kalian) tujuh perkara yang membinasakan.’ Mereka bertanya, ‘Apakah itu wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan cara yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan melempar tuduhan zina kepada wanita mukminah yang terjaga kesucian dan kehormatannya dari perbuatan dosa dan mereka tidak mengetahui tentang hal itu.’” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2615), Muslim (no. 258), Abu Dawud (no. 2874), dan An-Nasa’i (no. 3673), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menyebutkan tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjauhi sihir dan menjelaskan bahwa sihir termasuk dalam perbuatan dosa besar yang membinasakan. Ini menunjukkan bahwa sihir dapat membinasakan pelakunya di dunia maupun di akhirat. [Lihat Hukmus Sihri wal Kahanah (hal. 5)]
Tidak ada perbedaan bagi laki-laki maupun perempuan, mulai dari orang tua ataupun anak-anak; pejabat atau karyawan; si kaya atau si miskin, semuanya sama dalam kewajiban menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena dengan ilmu tersebut, dia akan dapat mengetahui dan mengamalkan berbagai amalan shalih dengan baik, yang amalan-amalan tersebut akan dapat mengantarkannya ke Surga.
Dengan demikian, kita telah mengetahui bahwa ilmu yang wajib untu dicari dan dipelajari oleh setiap Muslim adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang membahas tentang perkara-perkara agama, mulai dari perkara yang berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan Rabbnya sampai perkara yang berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan makhluk Rabbnya. Sementara untuk ilmu keduniaan, meskipun termasuk ke dalam ilmu yang bermanfaat, namun hukum mempelajarinya tidak sampai kepada wajib dan keutamaannya juga tidak setara dengan keutamaan menuntut ilmu syar’i.
muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
ILMU

Diantara perkara mulia yang hendaknya menjadi kesibukan kita adalah menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ilmu yang bersumber dari keduanya adalah cahaya dan pelita bagi pemiliknya, sehingga nampak jelas baginya kegelapan kebatilan dan kesesatan. Orang yang memiliki ilmu akan dapat membedakan antara petunjuk dan kesesatan, kebenaran dan kebatilan, sunnah dan bid’ah. Maka ilmu adalah perkara mulia yang hendaknya menjadi perhatian setiap muslim, perkara yang harus diutamakan. Karena ilmu itu lebih didahulukan daripada perkataan dan perbuatan. Sebagaimana firman Allahta’ala :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ [محمد:19]
“Ketauhilah, sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan mintalah ampun atas dosa-dosamu.” [Muhammad : 16]Didalam ayat diatas Allah lebih mendahulukan ilmu daripada perkataan dan perbuatan.
Dalil-Dalil Keutamaan Ilmu Dari al Qur’an
Terdapat banyak dalil, baik dari Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang menjelasakan tentang keutamaan, keagungan serta ketinggian ilmu. Diantaranya adalah :
Pertama : Firman Allah ta’ala :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ
إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ [آل عمران:18]
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan.
Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Ali Imraan : 18]Ayat ini menunjukkan akan keutamaan ilmu, karena Allah ta’ala telah menggandengan persaksian para ulama’ dengan persaksian-Nya dan persaksian para malaikat, bahwa Dia adalah sesembahan yang benar, yang berhak diibadahi, tidak ada Ilah yang benar melainkan Dia.
Kedua : Firman Allah ta’ala :
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا [طه:114]
“Dan katakanlah (wahai Nabi Muhammad) tambahkanlah ilmu kepadaku.” [Thaaha : 114]Allah ta’ala memerintahkan NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta kepadaNya tambahan ilmu. Ini adalah dalil yang sangat jelas akan keutamaan menuntut ilmu, karena tidaklah Allah perintahkan kepada beliau untuk meminta tambahan sesuatu kecuali hanya tambahan ilmu.
Ketiga : Allah ta’ala ketika menjelaskan keutamaan ilmu serta keagungan kemuliaannya berfirman :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ [الزمر:9]
“Katakanlah, apakah sama antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak tahu.” [Az Zumar : 9]Dalam ayat ini Allah ta’ala membedakan antara ahlul ilmi dengan selainnya. Dia menjelasakan bahwa tidaklah sama antara orang yang tahu kebenaran dengan orang yang jahil akan kebenaran.
Keempat : Allah ta’ala menjelaskan tentang kemuliaan ahlul ilmi serta keutamaan mereka dalam firman-Nya :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ [فاطر:28]
“Sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Allah diantara para hamba-Nya adalah para ulama’.” [Faathir : 28]Didalam ayat ini Allah ta’ala menerangkan bahwa ulama’ yang haqiqi adalah orang yang takut kepada Allah (ahlul khosyah).
Dalil-Dalil Keutamaan Ilmu Dari As Sunnah
Kita dapati banyak sekali dali-dalil yang besumber dari al Qur’an yang menunjukkan akan keutamaan ilmu. Demikian pula dalil-dalil yang berasal dari As Sunnah An Nabawiyah dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya adalah :
Pertama : Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ
عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا
اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ
وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ،
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ، وَذَكَرَهُمُ
اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka untuk
menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga. Tidaklah
berkumpul suatu kaum disalah satu masjid diantara masjid-masjid Allah,
mereka membaca Kitabullah serta saling mempelajarinya kecuali akan turun
kepada mereka ketenangan dan rahmat serta diliputi oleh para malaikat.
Allah menyebut-nyebut mereka dihadapan para malaikat.”Kedua : Sebuah hadits yang ada di shahihain dari Muawiyah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscana akan difahamkan tentang urusan agamanya.”Hadits ini menunjukkan bahwa seorang hamba yang memiki semangat dan perhatian dalam menuntut ilmu merupakan salah satu tanda yang menunjukkan bahwa Allah menghendaki kebaikan baginya. Karena siapa saja yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka akan difahamkan dalam urusan agamanya.
Ketiga : Hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya, dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا
سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ
الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ ،
وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي
الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ
عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ ، وَإِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا
وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka
Allah akan tunjukkan baginya salah satu jalan dari jalan-jalan menuju ke
surga. Sesungguhnya malaikat meletakan syap-sayap mereka sebagai bentuk
keridhaan terhadap penuntut ilmu.Sesungguhnya semua yang ada di langit
dan di bumi meminta ampun untuk seorang yang berilmu sampai ikan yang
ada di air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan
dengan ahli ibadah sebagaimana keutamaan bulan purnama terhadap semua
bintang. Dan sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris para Nabi, dan
sesungguhnya mereka tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi
mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil bagian ilmu maka sungguh
dia telah mengambil bagian yang berharga.”Ini adalah hadits yang sangat agung. Berisi penjelasan tentang keutamaan ilmu, kemuliaan ahlul ilmi dan pahala mereka disisi Allah ta’ala. Hadits diatas mengandung lima kalimat, setiap kalimatnya menunjukkan akan keutamaan ahlul ilmi dan tingginya kedudukan mereka disisi Allahta’ala. Oleh karena itu ImamAl Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah memiliki tulisan khusus yang menjelaskan hadits ini.
Keempat : Diantara hadits shahih yang menjelaskan tentang keutamaan dan kemuliaan menuntut ilmu adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ
عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ : إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ
عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia telah meninggal dunia maka terputuslah semua
amalannya kecuali tiga amalan : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat
dan anak shalih yang mendoakan dia.” [HR. Muslim].Hadits ini menunjukkan atas agungnya keutamaan ilmu dan pahala mengajarkan ilmu, baik lewat kajian maupun tulisan. Karena hal tersebut akan mmbuahkan pahala yang besar untuk manusia baik dimasa hidupnya maupun setelah kematiannya. Amalannya tidak akan terputus meskipun dia sudah meninggal dunia, bahkan pahala dan ganjaran dari Allah ta’ala senantiasa mengalir kepadanya selama ilmu yang dia ajarkan dimanfaatkan oleh manusia. Ini merupakan perkara kedua yang Allah catat dan tetapkan untuk manusia. Karena Allah ta’ala menulis amal manusia yang dikerjakan semasa hidupnya serta menulis bekas (atsar) dari amalannya tersebut setelah kematiannya. Allah ta’ala berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ [يس:12]
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami
menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan.” [Yasin : 12]Maka yang dicatat oleh Allah ta’ala adalah amalan seorang hamba dan bekas dari amalannya.Atsar dari amalan seseorang ada pada saat dia hidup maupun setelah kematiannya. Oleh karena itu pahala para ulama’ yang telah meninggalkan dan mewariskan ilmu dari karya tulis mereka senantiasa mengalir kepada mereka selama manusia mengambil manfaat dari kitab dan tulisan mereka.
Kelima : Diantara hadits yang menunjukkan akan keutamaan ilmu dan mengajarkannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Orang terbaik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.”Didalam hadits ini terdapat penetapan kebaikan bagi orang yang menyibukkan dirinya dengan Kitabullah dengan mempelajari atau mengajarkannya. Oleh karena itu mereka termasuk orang terbaik dari umat ini. Telah datang hadits dari shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan Al Qur’an dan menurunkan derajat kaum yang lain dengannya.”Keenam : Telah datang keterangan bahwa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kecerahan wajah bagi orang yang memiliki perhatian terhadap ilmu, berusaha memahami, mempelajari dan mengajarkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا
فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ
أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengarkan
hadits, lalu menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang
membawa fiqih kepada orang yang lebih faham darinya. Dan betapa banyak
orang yang membawa fiqih namun dia bukan seorang yang faqih.”Kandungan hadits ini menunjukkan akan keutamaan ilmu, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dengan do’a yang agung dan berbarakah bagi ahlul ilmi dan penuntut ilmu.
Ringkasnya, ada banyak dalil yang menunjukkan akan keutamaan dan kemuliaan ilmu. Maka selayaknya seorang muslim dan muslimah untuk bersungguh-sungguh memperhatikan dan memanfaatkan waktunya dijalan ilmu. Hendaknya dia selalu memiliki bagian dari menuntut ilmu dalam perjalanan harian dia. Oleh karena itu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kali selesai dari melaksanakan shalat subuh beliau senantiasa berdo’a :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah sesungguhnya saya minta kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rizqi yang baik dan amalan yang diterima.”Do’a yang senantiasa beliau ucapkan setiap harinya setelah shalat subuh ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu yang bermanfaat termasuk tujuan terbesar seorang muslim disetiap perjalanan waktu hariannya. Dan sesungguhnya menuntut ilmu lebih didahulukan daripada mencari rizqi dan beramal. Karena ilmu itu sebagai dasar dan pondasi yang dapat membedakan antara rizqi yang baik dan buruk, anatara amal shalih dan amal tidak shalih. Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya benar-benar memiliki perhatian terhadap waktunya, dia gunakan untuk menuntut ilmu supaya setiap hari dia mendapatkan bagian dari ilmu.
Adab-Adab Penuntut Ilmu
Setelah seorang penuntut ilmu mengetahui dan memahami akan keutamaan menuntut ilmu, maka hendaknya dia memiliki perhatian yang besar terhadap permasalahan adab-adab penuntut ilmu, diantaranya adalah :
Pertama : Ikhlas
Seorang penuntut ilmu dalam mencari ilmu hedaknya punya perhatian besar terhadap keikhlasan niat dan tujuanya dalam mencari ilmu, yaitu hanya untuk Allah ta’ala. Karena menuntut ilmu adalah ibadah, dan yang namanya ibadah tidak akan diterima kecuali jika ditujukan hanya untuk Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ [البينة:5]
“Dan mereka tidaklah diperintahkan melainkan hanya untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan amalan mereka.” [Al Baiyinah : 5]Didalam shahihain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung dengan niatnya dan
setiap orang akan memperolah pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan.”Nabi shallallahu ‘alaihiwa sallam juga bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk wajah dan harta kalian, namun yang Dia lihat adalah hati dan amalan kalian.”Oleh karena itu seseorang yang punya cita-cita yang tinggi dalam mencari dan memperoleh ilmu hendaknya punya perhatian yang besar terhadap keihklasan niat. Karena niat yang ikhlas merupakan sebab akan barakahnya ilmu dan amal. Sebagaimana perkataan sebagian salaf :
رُبَّ عملٍ صغير تكثِّره النية ، ورُبَّ عملٍ كثير تصغره النية
“Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niatnya pula.”Maka setiap orang yang telah diberi taufiq oleh Allah untuk bisa berjalan diatas jalan ilmu hendaknya waspada terhadap niat yang rusak dan selalu berusaha untuk menjadikan niatnya dalam menuntut ilmu hanya mengharapkan keridhaan dan wajah Allah ta’ala.
Kedua : Bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.
Sesungguhnya seorang hamba butuh kepada kesungguhan dan semangat untuk memperoleh ilmu. Dia paksa jiwanya untuk jauh dari sifat lemah dan malas. Oleh karena itu Nabi kita yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allah dari sifat lemah dan malas. Karena malas akan menyebabkan terhalanginya seseorang dari mendapatkan kebaikan yang banyak. Dan sebaliknya dengan kesungguhan akan diperoleh banyak keutamaan. Sebagaimana perkataan yang ada dalam suatu syair :
الجَدُّبالجِدِّ والحرمانُ بالكسلِ فانصَبْ تُصِب عن قريبٍ غايةَ الأملِ
Maksudnya adalah bahwa bagian besar dan berharga dari ilmu tidak
akan diraih kecuali dengan kesungguhan. Adapun sifat malas dan lemah
hanya akan menghalangi seseorang dari mendapatkan ilmu. Oleh karena itu
seorang penuntut ilmu handaknya mengerahkan segala upaya untuk memaksa
jiwanya dalam meraih ilmu. Sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ [العنكبوت:69] .
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dijalan Kami nisacaya
Kami akan tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah
bersama orang-orang yang berbuat baik.” [Al Ankabut : 69]Ketiga : Meminta pertolongan kepada Allah ta’ala.
Ini adalah diantara perkara penting yang harus diperhatiakan oleh seorang penuntut ilmu, bahkan perkara ini adalah dasar yang harus ada pada seorang penuntut ilmu , yaitu beristi’anah atau meminta pertolongan kepada Allah ta’ala untuk bisa meraih ilmu. Telah berlalu sebelumnya firman Allah ta’ala :
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا [طه:114]
“Dan katakanlah (wahai Nabi Muhammad), ya Rabb tambahkanlah ilmu kepadaku.” [Thaaha : 11]Telah kita ketahui juga bahwa Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hari setelah selesai shalat subuh berdo’a kepada Allah :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah sesungguhnya saya minta kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rizqi yang baik dan amalan yang diterima.”Maka seorang penuntut ilmu hendaknya selalau beristi’anah kepada Allah, meminta pertolongan dan taufiq kepadaNya. Allah ta’ala berfirman :
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ [النور:21]
“Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada
kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari
perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.” [An Nur : 21]Dalam ayat yang lain Dia juga berfirman :
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ
الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ
وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ [الحجرات:7]
“Akan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci
kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang
yang mengikuti jalan yang lurus.” [Al Hujurat : 7]Keempat : Mengamalkan ilmu.
Seorang penuntut ilmu harus punya perhatian serius terhadap perkara mengamalkan ilmu. Karena tujuan dari menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata :
يهتف بالعلم العمل ، فإن أجابه وإلا ارتحل
“Ilmu akan mengajak pemiliknya untuk beramal, jika dia penuhi
ajakan tersebut ilmunya akan tetap ada, namun jika tidak maka ilmunya
akan hilang.”Oleh sebab itu seorang penuntut ilmu harus benar-benar berusaha mengamalkan ilmunya. Adapun jika yang dialakukan hanya mengumpulkan ilmu namun berpaling dari beramal, maka ilmunya akan menjadi mencelakannya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Al Qur’an bisa menjadi penolong bagimu atau justru bisa mencelakakanmu.”Menjadi penolongmu jika Engkau mengamalkannya, dan mencelakakanmu jika Engkau tidak mengamalkannya.
Kelima : Berhias dengan akhlaq mulia.
Seorang penuntut ilmu hendaknya menghiasi dirinya dengan akhlaq mulia seperti, lemah lembut, tenang, santun dan sabar. Karena sifat-sifat tersebut termasuk akhlaq mulia. Para ulama’ telah menulis banyak kitab tentang adab seorang penuntut ilmu. Diantara kitab ringkas yang telah mereka tulis adalah kitab “Hilyah Thalabil Ilmi” buah karya Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah. Kitab ini adalah kitab yang sangat bermanfaat dan berfaedah yang menjelaskan tentang adab-adab penuntut ilmu.
Keenam : Mendakwahkan ilmu.
Jika seorang penuntut ilmu mendapatkan taufiq untuk bisa mengambil manfaat dari ilmunya, hendaknya dia juga bersemangat untuk menyampaikan ilmu dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala :
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي
خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3) [سورة العصر]
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian,kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati
supaya menetapi kesabaran.” [Al Ashr :1-3]Didalam ayat yang mulia ini, Allah ta’ala bersumpah bahwa manusia semunya mengalami kerugian, tidak ada seorangpun yang selamat dari kerugian kecuali orang yang beriman, berilmu, mengamalkan ilmunya, mendakwahkannya kepada orang lain serta bersabar atas gangguan yang menimpanya.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa kedudukan ilmu dan beramal dengannya itu bertingkat-tingkat. Sebagaimana dinukil oleh Adz Dzahabi rahimahullah di Siyaru A’laamin Nubalaa dari Muhammad bin An Nadhr, dia berkata :
أول العلم الاستماع والإنصات ، ثم حفظه، ثم العمل به ، ثم بثه
“Ilmu yang pertama kali adalah mendengar dan diam, kemudian menghafal, mengamalkan lalu menyebarkannya.”Orang yang menyebarkan ilmu akan memperoleh pahala yang besar, karena setiap kali ada orang yang mengambil faedah dari ilmu yang dia sebarkan dan dakwahkan akan dicatat baginya pahala sebagaimana pahala orang yang mengamalkan dakwahnya tersebut. Sebagaimana sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk maka baginya pahala
sebagaimana pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala
mereka sedikitpun juga.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kebaikan maka baginya ada pahala sebagaimana orang yang melakukannya.”Maka setiap kali ada orang yang mengambil manfaat dari ilmunya maka akan dicatat pahala baginya. Tidak diragukan bahwa ini menunjukkan akan keutamaan mengajarkan ilmu dan memberi manfaat kepada manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Allah memberikan petunjuk kepada satu orang disebabkan karena
kamu, maka hal itu lebih baik dari pada onta merah (harta yang paling
mahal).”Kita meminta kepada Allah, Rabb arsy yang agung, kita meminta dengan menyebut nama-namanya yang indah dan sifat-sifatnya yang tinggi agar menganugerahkan kita semua ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Menunjuki kita kepada jalan-Nya yang lurus, memperbaiki semua keadaan kita dan tidak membiarkan kita bersandar pada diri kita sendiri meskipun hanya sesaat.
Alhamdulillah Rabbil Alamin
Diterjemahkan secara bebas dari transkrip muhadharah Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr hafidzahumallah فَضْلُ طلَبِ الْعِلْمِ وَآدَابُ طُلَّابِ
sumber;ulamaindonesia.com
ulamaindonesia
Sabtu, 14 Februari 2015
RAHASIA MATI
DALAM tiap sel tubuh manusia ternyata ada sebuah sistem waktu yang
bertugas mengontrol seluruh proses, mulai dari lahir hingga kematian.
Para ilmuwan menyebutnya sistem kematian sel, sebuah sistem yang
bergerak dan berbunyi untuk mengatur tiap sel tubuh manusia termasuk
detak jantung. Sebuah sistem yang juga tidak mamapu menambah atau
mengurangi, sehingga ketika berada diakhir waktu/ketukan, maka kematian
datang setelahnya dan tidak pernah bisa ditunda.
Setelah penelitian panjangnya, para ilmuwan menegaskan bahwa kematian adalah makhluk seperti halnya kehidupan, dan seakan kematian itu adalah dasar utamanya. Dan hal tersebut dapat ditemukan isyaratnya dalam ayat Al-Quran:
Jadi kematian adalah makhluk, dan inilah yang ditegaskan oleh para ilmuwan dan ini pula yang telah ditegaskan oleh Al-Quran. Pertanyaannya adalah dari mana Nabi saw mendapatkan ilmu ini jika bukan dari sisi Allah?
Mayoritas para ilmuwan menegaskan bahwa masa tua adalah cara terbaik untuk mengakhiri kehidupan manusia secara alami, jika tidak, maka setiap upaya untuk memperpanjang hidup di atas batas-batas tertentu akan memberikan banyak penyebabnya, misalnya terserang penyakit atau kecelakaan, para ilmuwan mengatakan: “Setiap usaha untuk mencapai keabadian bertentangan dengan alam.” Para ilmuwan telah menyimpulkan hasilnya, yaitu bahwa meskipun menghabiskan miliaran dolar untuk dapat berumur panjang sampai usia, tetap saja tidak akan membuahkan hasil dan manfaat. Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad saw, beliau bersabda:
Demikianlah fakta ilmu baru datang yang belum dikenal sebelumnya membuktikan dan mengkonfirmasikan kebenaran sabda Nabi saw dan kebenaran risalah Islam dalam Al-Qur’an. [kaheel7]
sumber;alqur'anulkarim
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Maka jika datang waktu kematian mereka, tidak bisa mereka tunda dan dan mendahulukannya sedetikpun,”[QS. An-Nahl: 61].Setelah penelitian panjangnya, para ilmuwan menegaskan bahwa kematian adalah makhluk seperti halnya kehidupan, dan seakan kematian itu adalah dasar utamanya. Dan hal tersebut dapat ditemukan isyaratnya dalam ayat Al-Quran:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji siapa diantara kalian yang terbaik amalnya”. [QS. Al-Mulk:2]Jadi kematian adalah makhluk, dan inilah yang ditegaskan oleh para ilmuwan dan ini pula yang telah ditegaskan oleh Al-Quran. Pertanyaannya adalah dari mana Nabi saw mendapatkan ilmu ini jika bukan dari sisi Allah?
Mayoritas para ilmuwan menegaskan bahwa masa tua adalah cara terbaik untuk mengakhiri kehidupan manusia secara alami, jika tidak, maka setiap upaya untuk memperpanjang hidup di atas batas-batas tertentu akan memberikan banyak penyebabnya, misalnya terserang penyakit atau kecelakaan, para ilmuwan mengatakan: “Setiap usaha untuk mencapai keabadian bertentangan dengan alam.” Para ilmuwan telah menyimpulkan hasilnya, yaitu bahwa meskipun menghabiskan miliaran dolar untuk dapat berumur panjang sampai usia, tetap saja tidak akan membuahkan hasil dan manfaat. Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad saw, beliau bersabda:
تَدَاوَوْا يَا عِبَادَ اللهِ، فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شَفَاءً إِلاَّ دَاءً وَاحِداً: الْهَرَمُ
“Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, karena Allah tidak pernah
memberikan suatu penyakit kecuali Allah berikan penawarnya kecuali satu
masa tua,” [Diriwayatkan oleh Ahmad].Demikianlah fakta ilmu baru datang yang belum dikenal sebelumnya membuktikan dan mengkonfirmasikan kebenaran sabda Nabi saw dan kebenaran risalah Islam dalam Al-Qur’an. [kaheel7]
sumber;alqur'anulkarim
AL QUR'AN
Ayat-ayat Al-Qur’an yang Membicarakan Kematian
Sesungguhnya segala yang bermula itu akan berakhir, setiap yang kuat itu memiliki kelemahan dan setiap yang hidup pasti akan mati.Maka perhatikan firman-firman Allah @ berikut ini:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)”. (Surat Az Zumar: 30).
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian”. (Surat Ali `Imran: 185).
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di mana pun kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”. (Surat An Nisa': 78)
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kalian lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian, kemudian kalian akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan”. (Surat Al Jumu`ah: 8).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Surat Ali ‘Imran: 102).
Ingat juga hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ
“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan-kenikmatan”, yakni kematian. (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Imam Nasaa’i, Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad di dalam Musnad-nya. Imam Tirmidzi mengatakan, “Ini hadits hasan gharib”).
sumber;alquannulkarim.com
alquan
Senin, 26 Januari 2015
PENGAJIAN AKBAR
PENGAJIAN AKBAR
Dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW 1436
Hari/tanggal ; Minggu , 25-01-2015
Waktu ; 09.00 - selesai
Tempat ; Mushola Mamba'ul Huda , Desa Arjomulyo Kec Adimulyo
Pembicara ; K.H Nasirudin Dari Kebumen
Peserta ; Seluruh Santri wan , Santri Wati dan Warga arjomulyo
Dengan mengambil tema ;
" Menjunjung tinggi nilai Ukhuah Islamiyah , cinta Ulil amri dan cinta Rasul "
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ
يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًBahwasanya beliau berpesan bahwa " Junjunglah nilai kebersamaan dan persaudaraan umat islam agar supaya terjalin suasana harmonis dalam hidup ini . Karna hidup pada zaman saat ini banyak orang orang
yang tak peduli dengan sesama umat manusai untuk merebut kekuasaan / pangkat. contohnya organisasi ISIS yang meraja lela .karna itu bukanlah ajaran Rasululloh SAW . Ajaran beliau hanyalah ' Berbuat baik kepada sesama umat,baik yang tidak mengenal , karna kebaikan yang timbul dalam sesama umat, itu akan memunculkan keharmonisan , kedamaian dan kebahagiyaan .
" Didalam diri Rassul ada Suri tauladan yang baik "
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَـى، فَقِيْلَ:
وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ
الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى
Karna manusia yang wajib dan satu satunya yang kita contoh yaitu Kanjeng Nabi Muhammad SAW .Bukan yang lain baik artis,pengusaha dan pemimpin . Kita mencontoh kanjeng Nabi yakin lah pasti akan baik akhlaknya dan inzaAlloh masuk Surga.
Ciri ciri orang orang yang cinta rosul yaitu orang yang selalu melakukan sunah sunah rasul dan selalu Bersholawat kepada Rasul . Semoga kita diakui oleh kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai umatNya dan selamat dunia akhirat ..............................Amin......................................
Sesunguhnya orang yang akan bahagia,damai dan selamat dunia akhirat yaitu orang yang selalu melakukan amal kebaikan sesama umat manusia/muslim dan melakukan perintah perintah atau pun larangan larangan Nabi dan Alloh SWT . Marilah kita tingkatkan amal dan kebaikan untuk kehiduapan di akhirat . Dan jangan lupa banyak lah membaca SHOLAWAT atas Nabi Muhammad Saw .
Dan jika kita apabila ingin hidup damai , tentram , bahagia dan selamat dunia akhirat kita harus patuh dan taat kepada Alloh Swt , kepada para Rasul dan kepada Ulil Amri/pemerintah . Yang telah di jelaskan di dalam Al Qur'an Surat An-Nisa Ayat 59 , yang berbunyi ;
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik
akibatnya.
Kesimpulan dari Ayat diatas bahwa kita diperintahkan untuk mematuhi jalan pikiran para ulama , khususnya Imam-Imam Mazhab , sepanjang tidak bertentangan dengan perintah Alloh Swt serta Rasul-Nya.
" CINTA SHOLAWAT , CINTA RASULLOH SAW DAN CINTA ALLOH SWT "
Jumat, 16 Januari 2015
Din Syamsuddin himbau umat Islam tidak terprovokasi
| 2.940 Views
Pewarta: A Fitriyanti

Prof Dr.H.M. Din Syamsuddin (ANTARA FOTO/R.Sukemdi)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin
menghimbau seluruh umat Islam di dunia, khususnya di Indonesia, untuk
tidak terprovokasi untuk bereaksi berlebihan terkait diterbitkannya
kembali tabloid Charlie Hebdo.
"Bagi umat Islam, saya pikir reaksi terhadap penghinaan pada lambang-lambang Islam, Alquran dan Nabi Muhammad SAW, dalam bentuk kartun, film, dan sebagainya, tidak perlu ditanggapi dengan ekspresi yang berlebihan karena itu tidak menyelesaikan masalah," kata Din di Jakarta, Kamis.
"Terlebih lagi, Nabi kami tidak akan berkurang keagungan, kemuliaan dan keluhurannya karena penghinaan itu," lanjut dia.
Ditemui di sela-sela diskusi "Kekerasan Charlie Hebdo: Antara Kebebasan Pers dan Toleransi Kehidupan Umat Beragama" di Pusat Dialog dan Kerja Sama di antara Peradaban (CDCC) di Menteng, Jakarta, Kamis sore, Din menjelaskan ekspresi yang berlebihan akan memunculkan aksi-reaksi dan Islamofobia-Westernfobia yang hanya akan mengacaukan dunia.
"Bukan berarti kita diam, tapi harus ada cara yang cerdas dan taktis untuk menghadapinya karena kelompok itu (penghina Islam melalu kartun dan film) tidak cerdas, ceroboh dan bodoh, jadi jangan ditanggapi dengan jalan yang sama," kata dia.
Din menegaskan secara pribadi maupun sebagai ketua umum dari Muhammdiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dirinya mengecam segala bentuk kekerasan, apalagi sampai menghilangkan nyawa 12 orang seperti yang terjadi dalam kasus media Charlie Hebdo, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Namun, Din juga mengecam tindakan penghinaan dan pelecehan yang dilakukan Charlie Hebdo yang atas dasar apapun telah menyinggung lambang agama dan pemeluk agama tertentu, dan dalam hal ini adalah agama Islam.
"Figur Nabi Muhammad itu sangat agung. Tidak bisa dibenarkan bahwa mereka melakukan itu atas freedom of speech (kebebasan berbicara), freedom of expression (kebebasan berekspresi) karena penghinaan itu nyata dan termasuk kekerasan verbal," kata dia.
Oleh karena itu, Din menyerukan kepada pemimpin-pemimpin dan semua warga dunia yang cinta damai untuk bersatu dan mencari solusi terbaik dalam menafsirkan kebebasan.
"Kita tidak pernah serius membahas soal itu (kebebasan), dan generalisasi pada kebebasan sangat berbahaya. Karena itu harus ada upaya konsepsional untuk mengatasi masalah itu," kata dia.
"Bagi umat Islam, saya pikir reaksi terhadap penghinaan pada lambang-lambang Islam, Alquran dan Nabi Muhammad SAW, dalam bentuk kartun, film, dan sebagainya, tidak perlu ditanggapi dengan ekspresi yang berlebihan karena itu tidak menyelesaikan masalah," kata Din di Jakarta, Kamis.
"Terlebih lagi, Nabi kami tidak akan berkurang keagungan, kemuliaan dan keluhurannya karena penghinaan itu," lanjut dia.
Ditemui di sela-sela diskusi "Kekerasan Charlie Hebdo: Antara Kebebasan Pers dan Toleransi Kehidupan Umat Beragama" di Pusat Dialog dan Kerja Sama di antara Peradaban (CDCC) di Menteng, Jakarta, Kamis sore, Din menjelaskan ekspresi yang berlebihan akan memunculkan aksi-reaksi dan Islamofobia-Westernfobia yang hanya akan mengacaukan dunia.
"Bukan berarti kita diam, tapi harus ada cara yang cerdas dan taktis untuk menghadapinya karena kelompok itu (penghina Islam melalu kartun dan film) tidak cerdas, ceroboh dan bodoh, jadi jangan ditanggapi dengan jalan yang sama," kata dia.
Din menegaskan secara pribadi maupun sebagai ketua umum dari Muhammdiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dirinya mengecam segala bentuk kekerasan, apalagi sampai menghilangkan nyawa 12 orang seperti yang terjadi dalam kasus media Charlie Hebdo, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Namun, Din juga mengecam tindakan penghinaan dan pelecehan yang dilakukan Charlie Hebdo yang atas dasar apapun telah menyinggung lambang agama dan pemeluk agama tertentu, dan dalam hal ini adalah agama Islam.
"Figur Nabi Muhammad itu sangat agung. Tidak bisa dibenarkan bahwa mereka melakukan itu atas freedom of speech (kebebasan berbicara), freedom of expression (kebebasan berekspresi) karena penghinaan itu nyata dan termasuk kekerasan verbal," kata dia.
Oleh karena itu, Din menyerukan kepada pemimpin-pemimpin dan semua warga dunia yang cinta damai untuk bersatu dan mencari solusi terbaik dalam menafsirkan kebebasan.
"Kita tidak pernah serius membahas soal itu (kebebasan), dan generalisasi pada kebebasan sangat berbahaya. Karena itu harus ada upaya konsepsional untuk mengatasi masalah itu," kata dia.
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2015
Langganan:
Komentar (Atom)














